Sunday, October 4, 2015

Tersingkapnya Kebungkaman Nayla

Tersingkapnya Kebungkaman Nayla

Gadis itu masih tertegun di tepi danau yang tenang, di balik pekarangan milik pamannya. Ia nampak begitu tenang pula masih dengan balutan selendang di kepalanya, menutupi setiap helai rambutnya namun samar samar mampu kulihat legam warna di balik selendang putih susu itu. Aku belum mengerti apa yang sedang ia pikirkan disana. Aku tak kuasa mendekat, hanya mampu memerhatikannya dari kejauhan. Sudah beberapa kali aku tak menyambangi danau ini, tak duduk di tepian danau dan kayu lapuk yang bertengger dengan tenang disana. Walau begitu kayu lapuknya masih mampu menampung berat badanku dengan nyaman.

Ya, semenjak gadis yang selalu berselendang itu menyinggahi tempat semediku. Aku hanya diam saja tak berontak karena dia telah merebut tempat yang selama ini kujadikan persembunyian dari kejaran pikiran yang riuh rendah. Mungkin karena guratan di wajahnya mengisyaratkan sendu dan pilu yang begitu mendalam. Aku pun heran, mengapa tak ada sanak keluarganya yang datang untuk sekadar menyapanya jika danau ini dekat sekali dengan pekarangan milik pamannya. Darimana aku tahu? Karena paman gadis ini adalah teman ayahku, aku mengetahuinya pun dari pamannya sendiri. Pernah sekali aku melihatnya berjalan masuk di ruang tamu pamannya, sekilas ia memang seperti gadis yang sangat tertutup. Mungkin ia perempuan yang mampu menyembunyikan banyak tanya di pikirannya dengan tabah menyimpannya tanpa memiliki jawaban.

Baru sepersekian detik aku akan meninggalkan tempatku memerhatikannya, aku mendengar sedikit isak disana. Apakah gadis itu menangis? Aku lamat lamat mendengarkannya lagi dengan seksama. Iya, dia sedang menangis. Kemudian ia berdiri, aku semakin menyembunyikan diri di balik pohon mahoni agar keberadaanku tak pernah ia ketahui. Tapi ingin rasanya aku menghampiri. Sekadar untuk menenangkannya atau mengetahui siapa namanya. Aku telah mengagumi bagaimana caranya diam dan bungkam.

Dia tak lagi duduk di kayu lapuk di tepian danau, ia semakin mendekat pada danau yang tak beraliran itu. Ada debar pada jantungku yang tercipta ketika bagian bawah bajunya telah basah ditelan air danau tak beriak itu. Apa yang akan ia lakukan? Ia semakin menenggelamkan diri di tenangnya air danau itu, aku tak mampu bergerak dari tempatku bersembunyi. Aku tercengang sendiri. Hingga ketika selendangnya terlepas dari kepalanya lalu geraian rambutnya yang legam mengapung di permukaan air danau dan lehernya semakin tenggelam seakan membiarkan air danau yang dingin itu mencekiknya. Aku tak mampu menahan diri lagi, aku harus bergegas menariknya kembali ke daratan.

Aku melangkahkan kaki dengan cepat, gemerisik dedaunan yang kupijak tak ku pedulikan. Biar saja jika ia mengetahui bahwa selama ini aku memerhatikannya dari jauh. Aku hendak mencapai bibir danau itu hingga tiba tiba...

“Nay, apa yang kau lakukan?”

Sesosok dari arah pekarangan menceburkan dirinya ke dalam danau itu, menyebabkan gelombang pada danau yang tenang itu. Kakiku tersekat di pijakan terakhir. Siapakah dia? Nampaknya seorang laki laki. Ia menarik gadis yang mungkin bernama Nay itu ke daratan.

“Biar saja, lebih baik Nay tenggelam di air danau ini daripada Nay harus tenggelam dalam kenangan dan kesedihan semacam ini.” Gadis itu berontak dari pelukan laki laki yang menyelamatkannya.
“Sadarlah Nay, jangan kau berkabung selarut ini.”
“Kau bicara apa? Mengapa kau datang saat ini? Kemana saja kau selama aku bersedih? Aku sudah tak tahan ditekan keangkuhan.”
“Aku kembali untukmu Nay, untuk Naylaku yang katanya akan membangun semesta sendiri di kehidupan kita.”

Aku semakin tertegun dengan perdebatan diantara kedua muda mudi yang rupanya telah patah hati sebelum ini.

“Sudah cukup aku terkekang sunyi dengan keangkuhan keluargamu dan keluargaku sendiri. Aku bukan yang kau ingini. Sudah cukup jalankan sandiwara penuh dusta ini. Cukup!!!!.”

Gadis bernama Nayla itu berteriak, cukup mengusik burung burung yang sedang beristirah senja kala itu. Lalu seketika laki laki yang tadi mendekapnya terjatuh pada tanah basah, gadis bernama Nayla itu bertemu dengan pandangku. Sorot matanya nampak geram seakan ada api di matanya yang menyala-nyala. Aku tersenyum masam dan akhrinya memilih pasrah

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

Load disqus comments

0 comments