Tuesday, October 6, 2015

Album Hitam

Album Hitam

Aku masih memandangi deretan album hitam di tanganku. Tidak, bukan album kematian, bukan album yang menyeramkan meskipun covernya berwarna hitam. Namun album ini adalah album penuh kenangan bersama seseorang yang kini entah dimana keberadaannya.

“Dhar, kamu itu kebiasaan deh fotoin aku tanpa bilang bilang dulu.”

Dia masih asyik dengan kameranya itu, lensanya diputar putar berulang kali untuk mendapatkan fokus paling bagus. Aku tak mengerti mengapa ia senang sekali memotretku dengan tiba tiba seperti itu, jangankan berpose atau tersenyum ketika dia memotretku, menoleh pun aku tak mampu. Dia sangat lihai sekali dengan salah satu tombol yang begitu cepat saat membidik, hanya sekali klik.

“Yang natural lebih maksimal.”

Begitu katamu berulang kali ketika aku mengomel kepadamu karena dia memotretku dengan seenaknya sendiri. Terkadang aku heran, mengapa ia menjadikanku objek kameranya padahal aku tahu benar seleranya adalah memotret pemandangan alam ataupun benda benda mati yang tak bergerak. Apakah aku termasuk benda mati menurutnya?

Segerombolan tanya masih saja berkeliaran di pikiranku tentang alasan mengapa kau pergi dengan tiba tiba, bersamaan dengan itu aku kenangan waktu kita bersama juga terbersit begitu jelas diingatanku. Bukankah kepergian dariku tidak termasuk ke dalam cita cita besarmu itu Dhar? Tanya masih saja tak menemukan jawaban dan aku masih sibuk membuka halaman demi halaman album hitam yang kau sembunyikan di almarimu. Maaf jika aku lancang membukanya, namun mamamu dengan sengaja memberikan album hitam ini padaku. Dan saat ini album hitam di tanganku ini menjadi saksi bisu kenyataan yang kau sembunyikan pula dariku bertahun tahun.

Sebuah foto ketika aku tertidur di rumah sakit dengan sebuah note “Cepat sembuh peri kecilku, jangan pernah sakit lagi ya.” Halaman berikutnya ada fotoku yang asik mengupas kentang saat memasak dengan mamamu untuk makan malam di hari ulang tahunmu dengan note “Peri kecilku sedang memasak untuk pesta sederhana di ulang tahunku, aku berharap kelak masakannya yang selalu menjadi makananku.” Masih banyak foto foto yang tak ku ketahui kapan kau mengambilnya dan semuanya tentang aku. Dhar, apa sebenarnya ini?

Dan salah satu yang membuatku memecahkan tangis di kelopak mataku. Fotoku bersamamu ketika kita wisuda dan di sebelahnya terdapat gambar bunga sakura, aku mengambil foto itu dengan isak tanpa suara. Ternyata di baliknya kau tertulis kalimat, “Berbahagialah di negeri sakura peri kecilku, maaf jika selama ini aku terlampau selalu ingin bersamamu. Iya, aku hanya ingin kau tahu bahwa kau adalah yang berharga untukku” Aku tersedu, Dharma sahabatku nyatanya telah memendam rasa cinta padaku selama itu. Sedang kepulanganku kembali adalah untuk menyalami kepergiannya dari sisiku. Sesungguhnya aku pun ingin selalu bersamamu.

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

Load disqus comments

0 comments