Monday, October 5, 2015

Lara Dira

Lara Dira

Angkasa masih sangat  pekat, meski belum legam namun gelagar guntur masih bersahutan. Sama halnya seperti hatiku yang kini disambar sambar sayatan kata katanya beberapa detik lalu.

“Apa yang harus kita lakukan lagi Bim? Kita sudah tak sanggup bertahan. Sudah berapa lama kita kukuh dengan hubungan ini? Tapi nyatanya apa? Sama saja kan? Tak berguna!”

Pertanyaanmu penuh retori Dir, aku masih tak sanggup mencerna apa apa saat itu. Waktu terasa begitu membeku meski hujan yang mengguyurku adalah liquid yang membuatku basah. Ya, basah pula seperti mataku yang kau tak tahu karena air hujan telah menyamarkannya. Setelah itu kelebat memori tentang kita berdua selama dua tahun lalu bagai potongan film yang kini kasetnya kau injak injak tanpa kumengerti mengapa harus jadi begini?

“Cukup Bim, jauhi aku mulai detik ini. Jangan paksakan kita untuk bersama lagi. Sudah cukup aku dibantai sakit hati oleh orang orang yang menyayangimu. Pergilah Bim.”

Kemudian masih terpaku di jalanan beraspal yang mulai penuh genangan air, dengan payung putih beningmu kau perlahan pergi menjuhiku Dir. Baju yang kukenakan sebagian telah basah meskipun aku terlindungi oleh payung hitam pemberianmu dulu setahun silam ketika ayahmu terpaksa dipanggil Tuhan. Kau menitipkannya untukku tanpa pernyataan, yang aku tahu kau terlampau kehilangan waktu itu. Namun kau berkata bahwa di sampingku kau selalu merasakan bahagia. Lalu, benarkah yang kau ucapkan kala itu Dir? Benarkah kau bahagia bersamaku? Benarkah jika dipelukku kau merasa damai seperti ketika kau bersedih ketika kau kehilangan banyak hal dalam hidupmu, ketika bunda yang kau sayangi menyusul ayahmu di surga? Benarkah demikian? Lalu mengapa kini kau melangkah pergi, memintaku untuk mengakhiri ini semua? Oh Dir, jangan tampar aku dengan kebisuanmu, aku tahu kau banyak terluka dan di balik pengucapanmu tadi kau penuh dusta.

*****

Aku masih terpekur sama seperti beberapa bulan kau meninggalkanku di angakasa yang menangis pilu ketika genggaman surat cream ini berada di tanganku. Tak dapat kubendung lagi mataku yang tergenang air mata haru, sedih, dan penyesalan yang menggebu. Kemudian aku tersungkur tiba tiba oleh kenyataan yang sungguh pahit bagimu.

Dear Bima,

Tak perlu kau bersedih ketika aku meninggalkanmu, ketika aku memintamu untuk pergi dari hidupku. Cukuplah kau ikut menanggung kesedihanku yang bertalu talu itu, kau harus bahagia Bim. Jangan percaya jika aku tak mencintaimu lagi, jangan percaya jika aku tak menyayangimu lagi. Aku tak mau kau ikut terluka Bim, biar aku sendiri saja yang merasakan. Benar kata mereka jika aku hanyalah gadis penanggung dosa yang menjadi benalumu, selalu di sisimu. Maafkan aku Bim, hanya memberikan kisah kisah haru di hidupmu. Kau harus harus bahagia bersama mereka orang orang yang menyayangimu lebih dari aku. Tak perlu khawatir, aku akan baik baik saja. Nampaknya aku harus menyusul ayah bundaku di surga. Kau harus bahagia Bim.
I love You,
Dira

RENA KHARISMA
TENTANG PENULIS:

PELAJAR/MAHASISWI
TWITTER: @kharismarena

Load disqus comments

0 comments